Selasa, 31 Mei 2011

Hot Money

ISTILAH hot money kembali menjadi buah bibir di industri keuangan, baik di pasar uang maupun pasar modal.

Menguatnya nilai tukar rupiah hingga posisi Rp9.000 dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga memecahkan rekor baru dan menembus batas psikologis 2.900 menurut analisa pakar merupakan andil dari semakin derasnya aliran hot money yang masuk ke Indonesia. Hot money ini masuk ke berbagai instrument investasi yang dinilai menguntungkan.

Pertanyaannya, apa sih hot money itu? Bagaimana karakternya? Mengapa saat ini alirannya ke Indonesia begitu deras? Adakah manfaatnya bagi perekonomian kita? Adalah efek negatif yang bisa ditimbulkan?  Bagaimana menyikapinya? Mungkin masih ada sederet pertanyaan lain yang bisa diajukan dalam kaitan hot money.

Definisi baku hot money sih sebenarnya tidak ada. Istilah ini mencuat begitu saja di pasar dan lebih banyak berkonotasi negatif. Jika diterjemahkan apa adanya, hot money berarti uang panas. Dari sisi ini tampak kental sekali konotasi negatifnya, seolah-olah tidak ada kandungan positif di balik itu. Karena itu, seringkali hot money dikaitkan dengan istilah uang haram, uang tidak jelas asal usulnya, uang hasil korupsi, uang hasil kejahatan, uang hasil pengelolaan judi atau narkoba dan sebagainya.

Meski kesan atau image negatif, belakangan hot money tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia memiliki kekuatan yang sangat besar, tidak terukur. Hot money bisa mendongkrak nilai rupiah dan sekaligus menjatuhkannya. Ketika hot money masuk, maka secara otomatis harus berubah wujud dari dolar AS ke Rupiah sehingga terjadi pembelian Rupiah besar-besaran. Inilah yang membuat nilai Rupiah kini bertengger kuat di level Rp 9.000-an. Selanjutnya, di pasar modal, hot money mampu mengatrol harga saham sehingga pada gilirannya IHSG juga terbang tinggi. Nilai transaksi, volume transaksi maupun frekwensi semuanya naik signifikan.

Dari kacamata yang lebih obyektif, hot money diartikan sebagai dana-dana yang cenderung mengalir mencari tempat-tempat yang subur yang mampu memberikan pertumbuhan tinggi. Jika di Negara X, potensi rate of return lebih tinggi dari Negara Y, maka uang akan mengalir ke Negara X. Tapi jika Negara A memiliki potensi imbal hasil lebih tinggi dari Negara X, maka uang akan mengalir ke Negara A. Begitu seterusnya. Jadi jangan heran, jika pergerakan hot money bersifat jangka pendek.

Tidak ada yang namanya hot money loyal terhadap satu negara tertentu, betah atau kerasan tinggal selama beberapa tahun. Hot money selalu mencari return atau benefit yang lebih tinggi. Tentu saja ada risiko yang juga harus dipertimbangkan.

Jika kini hot money membanjiri industri keuangan nasional karena memang saat ini Indonesia menjanjikan benefit yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara lain, dengan tingkat risiko yang juga terukur. BI Rate misalnya, saat ini yang masih bertahan di posisi 6,5 persen dinilai cukup tinggi. Instrumen keuangan lainnya seperti obligasi pemerintah, sukuk, maupun obligasi korporasi masih memberikan return sekitar sembilan  persen hingga 10 persen, bahkan ada yang di atas 10 persen. Makanya, bisa dipahami jika instrument seperti SBI, sukuk, obligasi korporasi diserbu investor asing.

Sahampun juga tidak lepas dari sasaran hinggapnya hot money. Dalam beberapa bulan terakhir, saham-saham unggulan mencatat kenaikan yang cukup tinggi. IHSG tembus di atas 2.900, dan ada yang meramal bakal menjebol batas 3.000.

Kita sudah tahu bahwa hot money memiliki karakter yang khas yakni sering berpindah-pindah dalam tempo yang cepat. Karena itu perlu ada sikap antisipasi agar hot money ini bisa betah dan bertahan lama di Indonesia. Kalaupun mereka harus keluar, tidak secara seketika berbondong-bondong yang menyebabkan rupiah anjlok dan IHSG jatuh.

BI dalam hal ini sudah melakukan upaya antisipasi dengan merubah periode lelang SBI dari satu minggu sekali menjadi satu bulan sekali. Di pasar modal, investor sebaiknya memahami bahwa kekuatan pasar tidak boleh tergantung pada investor asing sehingga ketika investor asing keluar dan menarik dananya, IHSG tidak jatuh dan luka parah. Investor domestik harus bisa menjadi penopang utama kekuatan IHSG.

Emerging Markets

"Peningkatan tekanan inflasi di negara-negara maju dan terlebih lagi di hampir seluruh negara `emerging markets` terjadi akibat berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia saat ini, yang diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan semula," kata Ardhayadi, dalam kuliah umum di hadapan sivitas akademika Universitas Khairun, di Ternate, Maluku Utara, Jumat.

Menurutnya, Dana Moneter Internasional (IMF) telah merevisi ke atas "outlook" (proyeksi) ekonomi global tahun ini, dari 4,2 persen menjadi 4,4 persen, sementara Bank Dunia merevisi naik proyeksi ekonomi global dari 4,0 persen menjadi 4,1 persen, terutama karena potensi perbaikan pertumbuhan ekonomi China dari 8,5 persen menjadi 8,7 persen.

"Consensus Forecast" Januari 2011 memprakirakan inflasi global untuk keseluruhan tahun 2010 dan 2011 mencapai 3,41 persen (yoy) dan 3,23 persen (yoy). Untuk 2010, kata dia, Consensus Forecast inflasi kelompok negara maju sebesar 1,70 persen (yoy) sementara inflasi di negara berkembang 5,57 persen (yoy).

"Di beberapa negara maju, tekanan inflasi bahkan telah melampaui target masing-masing negara, seperti dialami beberapa negara Uni Eropa dan Inggris yang inflasinya melebihi target dua persen (yoy)," jelasnya.

Hampir seluruh harga bahan pangan, kata dia, mengalami kenaikan signifikan di seluruh dunia akibat kenaikan biaya produksi dan gangguan cuaca serta bencana alam yang telah mengakibatkan gagal panen di negara-negara produsen.

Di samping faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran, terjadinya kenaikan upah buruh di negara-negara emerging markets telah memicu kenaikan permintaan barang konsumsi termasuk makanan, tambahnya.

Dikatakan, krisis politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang telah menyebar cepat dan masih berlanjut berpotensi menghambat pasokan dan distribusi minyak dunia yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga minyak dunia yang tidak terkontrol berada di atas 100 dolar AS per barel.

Harga minyak dunia diperkirakan masih akan terus meningkat sejalan dengan terus memanasnya situsai di Libya. Harga minyak berjangka WTI (West Texas Intermediate) satu tahun ke depan diperkirakan menjcapai 101,97 dolar AS per barel, sedangkan minyak Brent sebesar 110,59 dolar AS.


Ekonomi Domestik

Menurut Ardhayadi, di dalam negeri, di sisi harga, meskipun inflasi sudah menunjukkan kecenderungan menurun, risiko tekanan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi. Inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) pada Maret 2011 mencapai 6,65 persen (yoy) atau deflasi 0,32 persen (mtm/bulan ke bulan) seiring dengan koreksi inflasi bahan pangan.

Meskipun masih relatif tinggi, tekanan inflasi dari kelompok "volatile foods" menunjukkan kecenderungan menurun sejalan dengan langkah pemerintah untuk memperkuat pangan nasional.

Sementara inflasi "administered price" cukup moderat terkait dengan minimalnya penyesuaian harga oleh pemerintah.

Namun, katanya, inflasi inti menunjukkan tren meningkat, tercatat 4,45 persen (yoy) atau 0,25 persen (mtm) pada Maret 2011, sebagai dampak rambatan dari tingginya harga pangan dan meningkatnya ekspektasi inflasi.

"Ke depan, risiko tekanan inflasi di Indonesia diperkirakan masih cukup tinggi, dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditi internasional, kuatnya permintaan domestik, dan tingginya ekspektasi inflasi," paparnya.

Bank Indonesia, katanya, akan terus mewaspadai risiko tekanan inflasi tersebut dan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mengendalikan inflasi ke sasaran yang telah ditetapkan.

"BI akan terus mewaspadai sumber-sumber tekanan inflasi, terutama yang berasal dari kenaikan harga bahan pangan dan energi serta kemungkinan penyesuian harga oleh pemerintah," ungkapnya.

Ia menambahkan, kebijakan BI selama 2011 akan berbentuk bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah ditempuh selama 2010. Penguatan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh instrumen yang tersedia untuk kemudian dikalibrasi secara optimal.  


Sumber :http://www.antaranews.com/berita/254432/tekanan-inflasi-jadi-ancaman-negara-emerging-markets

Foreign Direct Investment (FDI)

    Investasi Langsung Luar Negeri merupakan pemberian pinjaman atau pembelian kepemilikan perusahaan di luar wilayah negaranya sendiri. FDI terjadi manakala bisnis kita melakukan investasi pada fasilitas dan atau memasarkan suatu produksi di luar negeri. 

           FDI tidak lain investasi langsung di luar negeri. Jadi, FDI bukanlah ekspor maupun lisensi. FDI, ekspor, dan lisensi dalam keberadaannya mempunyai posisi sebagai tiga alternatif cara bisnis kita menggapai pasar luar negeri. Sepintas dipersepsikan FDI berbiaya tinggi dan penuh risiko daripada melakukan lisensi atau ekspor. Hal itu, karena mesti membangun fasilitas produksi, mengakuisisi perusahaan asing dimana jelas terdapat perbedaan ketentuan perundang-undangan termasuk budaya. Akan tetapi, ekspor dililiti biaya transfortasi dan hambatan-hambatan kebijakan Negara tujuan. Juga, lisensi mempunyai kelemahan memebrikan peluang technological know how pada pesaing, tidak adanya pengendalian sendiri serta timbul berbasis produk. 

         FDI dipilih dalam kondisi profitabilitas melebihi ekspor maupun lisensi. Ini berarti, biaya transportasi dan hambatan-hambatan perdagangan ekspor tidak menarik, kita ingin mempertahankan pengendalian dan keterampilan teknologi, operasionalisasi, strategi bisnis, dan atau kemampuan bisnis tidak ccocok dengan lisensi. Dalam kondisi FDI telah menjadi pilihan. Adalah kita mesti menentukan flow FDI dan stock FDI. Sejumlah pengelolaan FDI selama periode tertentu dimaksudkan sebagai flow FDI dimana stock FDI mengarah kepada keseluruhan nilai akumulasi aset-aset yang dimiliki dan diperoleh dari negara tujuan. Selain hal demikian, dipertimbangkan juga arus FDI yang keluar dari negara kita serta arus FDI yang masuk ke negara kita. Satu kali keputusan FDI diambil maka kita siap bersaing bukan sekedar dengan pesaing di negara sendiri melainkan bersaing di negara tujuan. Dengan demikian keputusan FDI merupakan suatu keputusan yang besar.

      Biasanya, FDI terkait dengan investasi aset-aset produktif, misalnya pembelian atau konstruksi sebuah pabrik, pembelian tanah, peralatan atau bangunan; atau konstruksi peralatan atau bangunan yang baru yang dilakukan oleh perusahaan asing. Penanaman kembali modal (reinvestment) dari pendapatan perusahaan dan penyediaan pinjaman jangka pendek dan panjang antara perusahaan induk dan perusahaan anak atau afiliasinya juga dikategorikan sebagai investasi langsung. Kini mulai muncul corak-corak baru dalam FDI seperti pemberian lisensi atas penggunaan teknologi tinggi.
Sebagian besar FDI ini merupakan kepemilikan penuh atau hampir penuh dari sebuah perusahaan. Termasuk juga perusahaan-perusahaan yang dimiliki bersama (joint ventures) dan aliansi strategis dengan perusahaan-perusahaan lokal. Joint ventures yang melibatkan tiga pihak atau lebih biasanya disebut sindikasi (atau 'syndicates') dan biasanya dibentuk untuk proyek tertentu seperti konstruksi skala luas atau proyek pekerjaan umum yang melibatkan dan membutuhkan berbagai jenis keahlian dan sumberdaya. Istilah FDI biasanya tidak mencakup investasi asing di bursa saham.

FDI di Indonesia

          UU Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1967) dikeluarkan untuk menarik investasi asing guna membangun ekonomi nasional. Di Indonesia adalah wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memberikan persetujuan dan ijin atas investasi langsung luar negeri. Dalam dekade terakhir ini pemodal asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia karena tidak stabilnya kondisi ekonomi dan politik. Kini muncul tanda-tanda bahwa situasi ini berubah: ada sekitar 70% kenaikan FDI di paruh pertama tahun 2005, bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi sebesar 5-6% sejak akhir 2004. Pada awal 2005, Inggris, Jepang, Cina, Hong Kong, Singapura, Australia, dan Malaysia adalah sumber-sumber FDI yang dianggap penting. Menurut data statistik UNCTAD, jumlah total arus masuk FDI di Indonesia adalah US$1.023 milyar pada tahun 2004 (data terakhir yang tersedia); sebelumnya US$0.145 milyar pada tahun 2002, $4.678 milyar pada tahun 1997 dan $6.194 milyar pada tahun 1996 [tahun puncak].
         Perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin menyedot sumber daya alam menguasai pasar (baik yang sudah ada dan menguntungkan maupun yang baru muncul) dan menekan biaya produksi dengan mempekerjakan buruh murah di negara berkembang, biasanya adalah para penanam modal asing ini. Contoh 'klasik' FDI semacam ini misalnya adalah perusahaan-perusahaan pertambangan Kanada yang membuka tambang di Indonesia atau perusahaan minyak sawit Malaysia yang mengambil alih perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia. Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto dan Freeport McMoRan, dan INCO semuanya memiliki investasi langsung di Indonesia. Namun demikian, kebanyakan FDI di Indonesia ada di sektor manufaktur di Jawa, bukan sumber daya alam di daerah-daerah.
      Salah satu aspek penting dari FDI adalah bahwa pemodal bisa mengontrol €"atau setidaknya punya pengaruh penting €"manajemen dan produksi dari perusahaan di luar negeri. Hal ini berbeda dari portofolio atau investasi tak langsung, dimana pemodal asing membeli saham perusahaan lokal tetapi tidak mengendalikannya secara langsung. Biasanya juga FDI adalah komitmen jangka-panjang. Itu sebabnya ia dianggap lebih bernilai bagi sebuah negara dibandingkan investasi jenis lain yang bisa ditarik begitu saja ketika ada muncul tanda adanya persoalan.

FDI sebagai indikator ekonomi

          FDI kini memainkan peran penting dalam proses internasionalisasi bisnis. Perubahan yang sangat besar telah terjadi baik dari segi ukuran, cakupan, dan metode FDI dalam dekade terakhir. Perubahan-perubahan ini terjadi karena perkembangan teknologi, pengurangan pembatasan bagi investasi asing dan akuisisi di banyak negara, serta deregulasi dan privatisasi di berbagai industri. Berkembangnya sistem teknologi informasi serta komunikasi global yang makin murah memungkinkan manajemen investasi asing dilakukan dengan jauh lebih mudah.
Pengaruh terbesar FDI ini ada di negara-negara berkembang, dimana aliran FDI telah meningkat pesat dari rata-rata di bawah $10 milyar pada tahun 1970an menjadi lebih dari $200 milyar pada tahun 1999. Jumlah FDI di 'Dunia Ketiga' kini mencapai hampir seperempat FDI global. Di antara negara-negara lainnya, Cina adalah negara tuan rumah terbesar bagi FDI. Perusahaan-perusahaan multinasional besar dan konglomerat-konglomerat masih menjadi bagian terbesar dari FDI (sumber: UNCTAD). Negara-negara ASEAN dengan penghasilan menengah seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina kini tengah menghadapi tantangan utama untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik mereka sebagai tuan rumah bagi FDI dalam lingkungan ekonomi yang berubah dengan pesat.
         Patut dicatat pula bahwa dana Bantuan Pembangunan Luar Negeri atau ODA (Overseas Development Assistance) dulunya adalah sumber utama dana pembangunan di banyak negara berkembang. Namun, pada tahun 2000 total ODA hanya tinggal setengah dari jumlahnya sebelum tahun 1990an. Pembiayaan swasta (privat), melalui FDI, telah menjadi sumber terbesar dari dana 'pembangunan'. Peningkatan luarbiasa FDI ini adalah akibat dari pertumbuhan pesat perusahaan-perusahaan transnasional dalam ekonomi global. Dari hanya sekitar 7.000 perusahaan multinasional di tahun 1960, angka itu melejit melampaui 63.000 dengan sekitar 690.000 afiliasi atau cabang menjelang akhir tahun 1990an. Lebih dari 75% dari perusahaan-perusahaan ini berasal dari negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara, sementara perusahaan-perusahaan subsider(cabang)nya beroperasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Inilah gambaran sektor privat yang diperkirakan menguasai lebih dari duapertiga perdagangan internasional.
         Pemerintah sangat memberi perhatiaan pada FDI karena aliran investasi masuk dan keluar dari negara mereka bisa mempunyai akibat yang signifikan. Para ekonom menganggap FDI sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi karena memberi kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi nasional seperti Produk Domestik Bruto (PDB/GDP), Gross Fixed Capital Formation (GFCF, total investasi dalam ekonomi negara tuan rumah) dan saldo pembayaran. Mereka juga berpendapat bahwa FDI mendorong pembangunan karena-bagi negara tuan rumah atau perusahaan lokal yang menerima investasi itu-FDI menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi, dan ketrampilan manajemen yang baru. Lebih lanjut, FDI juga membuka pasar dan jalur pemasaran yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah dan akses pada teknologi, produk, ketrampilan, dan pendanaan yang baru.

FDI dan advokasi

      Mereka yang menentang mencatat bahwa FDI memberi makna lain pada ungkapan "Berpikir global, bertindak lokal" ('Think globally, act locally'). Mereka berpendapat bahwa FDI lebih menguntungkan negara asal (negara dari mana investasi itu ditanamkan) daripada negara tuan rumah (negara tujuan dimana investasi itu ditanamkan). Konglomerat-konglomerat multinasional dapat menggunakan kekuasaan mereka yang besar terhadap ekonomi-ekonomi yang lebih kecil dan lebih lemah. Mereka bisa menghabisi kompetisi lokal. FDI bisa membuat sebuah pabrik meningkatkan kapasitas produksi totalnya (seringkali juga dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada di negara asalnya); membawa produknya lebih dekat ke pasar-pasar luar negeri; membuka kantor-kantor penjualan lokal di negara tuan rumah; berkelit dari berbagai 'hambatan dagang' (trade barriers) dan menghindari tekanan pemerintah luar negeri pada produksi lokal.
       Lobi melawan FDI bisa dilakukan para pengkampanye dengan membuat perusahaan-perusahaan tersebut tahu risiko finansial atas investasi mereka dalam produksi yang tidak berkelanjutan secara sosial maupun lingkungan. Sejarah konflik atau catatan buruk pelanggaran hak asasi manusia di daerah tertentu negara tuan rumah dimana investasi asing hendak ditujukan membuat perusahaan lebih sulit mendapatkan jaminan atas risiko politik. Perusahaan multinasional seharusnya juga ditekan untuk mengadaptasi standar internasional tertinggi atas hak-hak masyarakat adat, dampak lingkungan, dan syarat-syarat kesehatan dan keselamatan kerja. Inisiatif-inisiatif PBB seperti Global Compact, Equator Principles, dan prinsip-prinsip tatakelola korporasi dari OECD bisa digunakan untuk membuat bank dan agen pembiayaan lain menghentikan pembiayaan investasi yang secara sosial atau lingkungan merusak. Banyak perusahaan lain kini mempunyai panduan tanggung jawab sosial korporasi-nya masing-masing. Aksi langsung di dalam dan di seputar berlangsungnya RUT (Rapat Umum Tahunan) pemegang saham perusahaan-perusahaan internasional juga terbukti menjadi alat yang efektif untuk menghasilkan publisitas.
       Salah satu kemungkinan mempengaruhi investasi asing adalah dengan mendorong investasi etis atau investasi yang bertanggungjawab secara sosial, yang biasa disebut SRI (Socially Responsible Investment). Walaupun belum menjadi arus utama, pasar SRI telah meningkat secara berarti. Di Inggris, SRI telah mencapai £7,1 milyar. Di AS, skema investasi etis telah mencapai US$153 milyar menjelang tahun 2000, sebuah peningkatan pesat dari US$12 milyar pada tahun 1995. Menurut laporan, sekitar 12% dari investasi total yang dikelola di AS adalah bagian dari skema SRI.

Liberalisasi dan FDI di Indonesia

        UU Penanaman Modal pertama (UU No. 1/1967) yang dikeluarkan oleh Orde Baru dibawah pemerintahan Suharto sebenarnya mengatakan dengan jelas bahwa beberapa jenis bidang usaha sepenuhnya tertutup bagi perusahaan asing. Pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, KA, tenaga nuklir, dan media masa dikategorikan sebagai bidang usaha yang bernilai strategis bagi negara dan kehidupan sehari-hari rakyat banyak, yang seharusnya tidak boleh dipengaruhi pihak asing (Pasal 6 ayat 1).
Setahun kemudian, UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968) menyatakan: "Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalamnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional" (Pasal 3 ayat 1). Dengan kata lain, pemodal asing hanya boleh memiliki modal sebanyak-banyaknya 49% dalam sebuah perusahaan. Namun kemudian, pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan pemerintah yang menjamin investor asing bisa memiliki hingga 95% saham perusahaan yang bergerak dalam bidang "... pelabuhan; produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan, pelayaran, KA; air minum, pembangkit tenaga nuklir; dan media masa" (PP No. 20/1994 Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1).
Dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah Indonesia mengadakan International Infrastructure Summit pada tanggal 17 Januari 2005 dan BUMN summit pada tanggal 25-26 Januari 2005.
          Infrastructure summit menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia..
       BUMN summit menyatakan jelas bahwa seluruh BUMN akan dijual pada sektor privat. Dengan kata lain, artinya tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan seluruh barang dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba.
Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan proses liberalisasi yang saat ini sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia dan menunjukkan pentingnya FDI bagi pemerintah Indonesia. Semangat ayat-ayat dalam UUD 1945 yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis telah sirna.

Domestic Direct Investment

Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

Ketentuan mengenai Penanaman Modal diatur didalam Undang-undang No. 25 Tahun 2005 tentang Penanaman Modal

Penanam modal Negeri dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Negeri, badan usaha Negeri, dan/atau pemerintah Negeri yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Kegiatan usaha usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan dan batasan kepemilikan modal Negeri atas bidang usaha perusahaan diatur didalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 Tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Bagi investor dalam negeri perusahaan perorangan yang ingin memperoleh Izin Prinsip, ia harus memiliki akta pengesahan pendirian perusahaan atau Kartu Tanda Penduduk serta NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

Tidak berbeda dengan pelayanan yang diberikan penanam modal dalam negeri, PMA dapat mengajukan Permohonan Izin Prinsip Penanaman Modal kepada PTSP BKPM, PTSP provinsi maupun kabupaten/kota sesuai tingkat kewenangan yang dimilikinya.
Perusahaan Penanaman Modal Negeri mendapatkan fasilitas dalam bentuk :
  • pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
  • pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
  • pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
  • pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
  • penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
  • keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Kriteria Perusahaan Penanaman Modal Negeri yang mendapatkan fasilitas antara lain :
  • Menyerap banyak tenaga kerja
  • Termasuk skala prioritas tinggi
  • termasuk pembangunan infrastruktur
  • melakukan alih teknologi
  • melakukan industri pionir
  • berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu
  • menjaga kelestarian lingkungan hidup
  • melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi
  • bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi
  • industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi didalam negeri.
     
    Prosedur yang mesti dilalui oleh PMDN untuk mengajukan Permohonan Izin Prinsip justru lebih sederhana. Pengajuan permohonan bisa dilakukan oleh perseorangan Warga Negara Indonesia, Perseroan Terbatas atau perusahaan nasional yang seluruh sahamnya dimiliki oleh WNI, commanditaire vennootschap, firma, usaha perseorangan, koperasi, yayasan yang didirikan WNI, Badan Usaha Milik Negara maupun oleh Badan Usaha Milik Daerah.

    Berkas permohonan harus dibawa sendiri oleh penanam modal dalam negeri yang bersangkutan. Jika berhalangan dapat menguasakan kepada pihak lain dengan memberikan surat kuasa asli. Dokumen lain yang disertakan adalah:

    A. Bukti diri pemohon:
  • Pendaftaran bagi badan usaha yang telah melakukan pendaftaran;
  • Rekaman akta pendirian perusahaan dan perubahannya untuk PT, CV, Fa atau rekaman Anggaran Dasar bagi Badan Usaha Koperasi;
  • Rekaman pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dari Kementerian Hukum dan HAM atau pengesahan Anggaran Dasar Badan Usaha Koperasi oleh instansi yang berwenang;
  • Rekaman KTP untuk perseorangan;
  • Rekaman NPWP;
B. Keterangan rencana kegiatan:
  1. Uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart);
  2. Uraian kegiatan usaha sektor jasa;
C. Rekomendasi dari instansi pemerintah terkait (sesuai syarat bidang usaha);

Jika dokumen Permohonan izin Prinsip telah dinyatakan lengkap dan benar, dalam waktu paling lambat 3 hari kerja, Izin Prinsip Penanaman Modal telah dapat diterima oleh pemohon, maupun PMDN.